Selasa, 15 Maret 2016

Jadi Ustadz Dadakan

    Hidup itu adalah kumpulan-kumpulan peristiwa yang saling berkaitan satu sama lain. Kadang tinggal sebagai kenangan indah, namun tak jarang ia menjadi empedu dalam memori kenangan, pahit untuk diingat. 

   Nah, dalam tulisan ini ku ingin berbagi sepotong pengalaman yang sedikit menggelitik tapi juga mengangkan yang pernah ku alami dimasa perantauan di Jakarta. Eh, sebelum bercerita panjang lebar, teman mungkin perlu tau bahwa kurang lebih tiga tahun sudah ku habiskan di kota ini. Umumnya sebagai seorang mahasiswa, saya juga mencari kerja sampingan yang cukup untuk membantu keperluan sehingga tak bergantung banyak kepada orang tua. Nah, singkat kata, saya tinggal di sebuah pesantren penghafal quran di Depok. Tinggal menetap disana sebagai pembina sekaligus tenaga pengajar. Hitung-hitung bisa dapat tempat gratis plus makan tiga kali sehari tanpa harus bayar, bahkan digaji setiap bulan, 30 hari. hehehe.....

    
Di pesantren, tak jarang santri mendapat undangan dari masyarakat untuk sekedar makan bersama atau dipanggil khusus ke acara syukuran. Kalau ku ingat-ingat, bahkan santrinya pernah dipanggil ke rumah Mentri Sosial yang menjabat di era SBY. bukan itu saja,  santri juga pernah diundang oleh salah satu pejabat polisi yang lagi naik jabatan. Pokoknya banyak lah..

    Suatu hari.... (kaya cerita anak sd aja) santri kembali mendapat undangan untuk hadir di acara syukuran salah seorang pejabat yang baru naik jabatan jadi Deputi 3, di daerah Pasar minggu (saya betul-betul lupa siapa beliau). Santri dijemput ba'da ashar ke rumah jabatan beliau. dan sekita jam 05:00, bus sudah sampai di rumah tujuan. 

   Sesaat kemudia kami diarahkan untuk segera turun dari bus dan langsung menuju ke mesjid dekat rumah terlebih dahulu sambil menunggu shalat magrib kerna ternyata acaranya baru akan dimulai setelha shalat. Saya beserta tiga rekan pembina lainnya mengatur santri agar tidak bermain-main didalam mesjid. Terasa waktu berlalu cepat dan masuklah waktu shalat magrib dan kamipun shalat bersama. Setelah menunaikan shalat, baruah kami diarahkan untuk langsung melangkahkan kaki ke rumah Bapak itu. 

"Rumah yang cukup megah," pikirku saat pertama kali melangkah kedalam rumah.

    Terlihat beberapa tamu -yang ku yakin mereka juga adalah para pejabat yang pangkatnya sudah lumayan tinggi, tapi tak setinggi pohon kelapa. hehee..- sudah duduk rapi diatas kursi yang disediakan di samping pintu utama rumah. Adapun kami, dari tuan rumah mempersilahkan untuk duduk di ruangan tamu dan di ruangan tengah rumah. Setelah semuanya duduk, nah, disinilah segala hal yang saya tak sangka, tak duga, dan tak kira akan terjadi. 

   "Siapa Ustadz yang akan memimpin doanya?" kata tuan rumah membuat ku tiba-tiba keringat dingin. 
Harap cemas muncul bergejolak dalam hati. 
  Salahsatu teman saya malah menjawab:  "Ini pak, namanya Ust. Farid. beliau yang akan memimpin doanya."
   "Alamak.... ko saya... mau baca doa apa ini? Betul-betul tidak ada persiapan sama sekali. Mana yang hadir orang-orang besar lagi, bisa masalah nih kalau baca doanya tersendat atau lupa," gumamku gelisah. "Tapi mau gimana lagi, sepertinya mau tidak mau harus bisa, nih!" kembali batinku berujar. Kerena jalan sudah buntu dan tidak ada lagi celah untuk kabur, mau-tidak mau ya, harus tetap mau.

  "Iya, Pak.. saya insyaallah"
  "Namanya siapa ustadz?"  
  "Wah, Ustadz? seperti ustadz besar saja, gini-gini udah dipanggil "ustadz". Ustadz dari mana mbak," kataku membatin.
  "Ahmad Farid, bu.."

  Mbak yang tadi mulai berdiri dan langsung membuka acara, bla..bla..bla.. satu persatu ucapan sambutan diberikan untuk para tetamu yang hadir. Sambil Mc membuka acara, ku sempatkan untuk menjungkirbalikkan otak mengingat doa-doa yang pernah tersimpan di memori. Akhirnya ku putuskan untuk membaca beberapa dzikir setelah shalat. heheh mudah-mudahan manjur... 

  "Acara selanjutnya, Doa dan pembacaan surat yasin yang akan dipimpin oleh ustadz Farid," terdengar suara si mbak Mc mempersilahkan saya untuk memulai doa. 
  
   Bukan hanya doa saja, disuruh baca surat yasin juga ternyata. Waduh..... Padahal seumur-umur saya tidak pernah memimpin orang yasinan. Apalagi yang saya pelajari bahwa amalan ini tidak pernah dicontohkan Rasulullah. tapi ya, sudahlah, kepalang basah. Maju kena mundur kena. Nanti kalau menolak bisa berabe urusannya.

   Mikrofon sudah ditangan, hhhmmm.... "bismillah.. Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatu... bla...bla..bla..." setelah memuji Allah dan Rasulnya, satu persatu doa saya bacakan dan Alhamdulillah lancar. Tidak ada masalah sedikitpun kecuali beberapa kali saya harus terhenti karena grogi plus degdegan. Setelah baca doa, saya langsung diarahkan oleh mc untuk segera memimpin yasinan. 

   Sebenarnya pada saat itu saya sama sekali tidak bawa Al Quran, mau ngandalin hafalan tapi ternyata suratnya belum ter-save di memori kepala. duh... Bagaimana ini? oh, iya... di Hp kan ada aplikasi Al Qurannya. Alhamdulillah selamat pikirku. Setelah memberi aba-aba, saya memulai membaca basmalah dan langsung diikuti para tamu dan santri dirumah itu. Yasiiiiiiiin....... ayat demi ayat kami lantunkan bersama dengan khusu' penuh syahdu. Tapi sekali lagi, masalah muncul. Lampu led hp ku berkedip-kedip warna merah, itu menandakan sebentar lagi hapenya bakalan mati. aduhhh ya Allah... semoga gak mati. Bisa kacau balau kalau hp nya mati, bisa-bisa malu banget nih. 

  Rasa was-was itu tak pernah hilang sampai akhirnya surat yasinnya selesai. Tapi alhamdulillah semuanya berjalan lancar. HP tetap on sampai surat yasin kai khatamkan bersama. 

  Setelah acara selesai, kami dipersilahkan untuk mencicipi makanan yang telah tersedia. dan Setelah itu..... Pulang. 

   
   
   
Comments
4 Comments

4 komentar:

Rofikoh As-singkily mengatakan...

Al-ust Ahmad Farid

Subhanallah

Helen Widaya mengatakan...

Sekarabg pasti sudah terbiasa di panggil ustadz kan,Mas?..:)

Unknown mengatakan...

Biasa kali mbak... ikhwah biasa, masih jauh dari kriteria ustadz.

Unknown mengatakan...

Kalau dibilang terbiasa, ya sudah banget mbak. Soalnya murid sy manggilnya gitu, meski sebenarnya bukan ustadz dalam artian sebenarnya ؛)